Epidemiologist

Epidemiologist
Epidemiologists help with study design, collection and statistical analysis of data, and interpretation and dissemination of results (including peer review and occasional systematic review). Epidemiology has helped develop methodology used in clinical research, public health studies and, to a lesser extent, basic research in the biological sciences

Sabtu, 05 Desember 2015

JKN DAN BPJS KESEHATAN


Mulai 1 Januari 2014 sistem Jaminan Sosial terbaru atau JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) resmi diberlakukan. Namun masih banyak warga yang belum tahu apa itu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dan JKN. Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan dari warga yang masih bingung soal JKN dan BPJS seperti dikutip dari liputan6.com.

1. Apa itu JKN dan BPJS Kesehatan dan apa bedanya?
JKN merupakan program pelayanan kesehatan terbaru yang merupakan kepanjangan dari Jaminan Kesehatan Nasional yang sistemnya menggunakan sistem asuransi. Artinya, seluruh warga Indonesia nantinya wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk jaminan kesehatan di masa depan.

Bagaimana dengan rakyat miskin? Tidak perlu khawatir, semua rakyat miskin atau PBI (Penerima Bantuan Iuran) ditanggung kesehatannya oleh pemerintah. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi rakyat miskin untuk memeriksakan penyakitnya ke fasilitas kesehatan.

Sementara BPJS adalah singkatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS ini adalah perusahaan asuransi yang kita kenal sebelumnya sebagai PT Askes. Begitupun juga BPJS Ketenagakerjaan merupakan transformasi dari Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja).

Antara JKN dan BPJS tentu berbeda. JKN merupakan nama programnya, sedangkan BPJS merupakan badan penyelenggaranya yang kinerjanya nanti diawasi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional).

2. Siapa saja saja peserta JKN?
Sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dengan adanya JKN, maka seluruh masyarakat Indonesia akan dijamin kesehatannya. Dan juga kepesertaanya bersifat wajib tidak terkecuali juga masyarakat tidak mampu karena metode pembiayaan kesehatan individu yang ditanggung pemerintah.

3. Berapa iuran untuk Karyawan, PNS, TNI/POLRI, pedagang, investor, pemilik usaha atau perusahaan atau pihak yang bukan Penerima Bantuan Iuran ?
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 jenis Iuran dibagi menjadi:
- Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah (orang miskin dan tidak mampu).
- Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai pemerintah non pegawai negeri dan pegawai swasta) dibayar oleh Pemberi Kerja yang dipotong langsung dari gaji bulanan yang diterimanya.
- Pekerja Bukan Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri) dan Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang bersangkutan.

Untuk jumlah iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2 persen dibayar oleh peserta.

Tapi iuran tidak dipotong sebesar demikian secara sekaligus. Karena secara bertahap akan dilakukan mulai 1 Januari 2014 hingga 30 Juni 2015 adalah pemotongan 4 persen dari Gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5 persen dibayar oleh Peserta.

Namun mulai 1 Juli 2015, pembayaran iuran 5 persen dari Gaji atau Upah per bulan itu menjadi 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1 persen oleh Peserta.

Sementara bagi peserta perorangan akan membayar iuran sebesar kemampuan dan kebutuhannya. Untuk saat ini sudah ditetapkan bahwa:
- Untuk mendapat fasilitas kelas I dikenai iuran Rp 59.500 per orang per bulan
- Untuk mendapat fasilitas kelas II dikenai iuran Rp 42.500 per orang per bulan
- Untuk mendapat fasilitas kelas III dikenai iuran Rp 25.500 per orang per bulan

Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan apabila ada keterlambatan dikenakan denda administratif sebesar 2 persen dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Dan besaran iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling lama dua tahun sekali yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

4. Fasilitas apa saja yang didapat jika ikut JKN?
A. Untuk peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran)
- Pekerja penerima upah ( PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri dan Pegawai Swasta, akan mendapatkan pelayanan kelas I dan II
- Pekerja bukan penerima upah (Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, karyawan swasta) akan mendapatkan pelayanan kelas I, II dan III sesuai dengan premi dan kelas perawatan yang dipilih.
- Bukan pekerja (investor, pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan serta janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan. Termasuk juga wirausahawan, petani, nelayan, pembantu rumah tangga, pedagang keliling dan sebagainya) bisa mendapatkan kelas layanan kesehatan I, II, dan III sesuai dengan premi dan kelas perawatan yang dipilih.

B. Penerima Bantuan Iuran (PBI)
Orang yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu yang dibayarkan preminya oleh pemerintah mendapatkan layanan kesehatan kelas III

5. Apakah sistem pelayanan BPJS misalnya mengurus obat bisa lama dan dilempar sana-sini?
Direktur Kepersertaan BPJS, Sri Endang Tidarwati mengatakan bahwa sistem pelayanan BPJS akan lebih baik karena didukung oleh SDM yang banyak dan terlatih. Sementara bila semua data lengkap dan seluruh isian dalam formulir sudah terisi dengan baik, pihak BPJS (Badan penyelenggara Jaminan Sosial) mengklaim prosedur pendaftaran menjadi peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) cukup 15 menit.

6. Apakah tenaga kesehatan akan bersikap ramah terhadap peserta JKN?
Menteri Kesehatan menyampaikan, bila ada satu RS yang dokternya galak, maka pasien ini boleh pindah ke RS yang memiliki dokter yang ramah dan melayani dengan baik. Menkes mengatakan, lama-lama jumlah pasien di dokter galak tersebut akan berkurang. Sementara dokter yang melayani dengan baik dan gembira, jumlah pasien dan pendapatannya meningkat.

7. Manfaat dan layanan apa saja yang didapat peserta JKN?
Manfaat JKN mencakup pelayanan pencegahan dan pengobatan termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Seperti misalnya untuk pelayanan pencegahan (promotif dan preventif), peserta JKN akan mendapatkan pelayanan:
- Penyuluhan kesehatan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
- Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri pertusis tetanus dan Hepatitis B (DPT-HB), Polio dan Campak.
- Keluarga Berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi
- Skrining kesehatan diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
- Jenis penyakit kanker, bedah jantung, hingga dialisis (gagal ginjal).

8. Alur pembuatan kartu BPJS Kesehatan seperti apa?
Direktur Pelayanan PT Askes Fadjriadinur mengatakan bahwa Anda bisa datang ke kantor BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kemudian melakukan hal berikut:
1. Mengisi formulir pendaftaran
2. Pembayaran premi
Anda akan diberikan virtual account atau kode bank untuk pembayaran premi pertama yang bisa dilakukan melalui ATM atau bank terdekat yang saat ini sudah bekerjasama yaitu bank BRI, BNI dan Mandiri.

Untuk biaya premi peserta mandiri dengan perawatan kelas 3, sebulan hanya Rp 25.500 per orang, untuk perawatan kelas II sebulan Rp 42.500 per orang dan perawatan kelas I sebesar Rp 50.000 per orang.
Adapun besaran premi pada kelompok pekerja sebesar 5 persen dari gaji pokoknya, 2 persen dibayarkan oleh yang bersangkutan dan 3 persen dibayarkan oleh perusahaan tempat pekerja bekerja.

3. Mendapat kartu BPJS Kesehatan yang berlaku di seluruh Indonesia
Setelah membayar premi, nantinya Anda akan mendapat kartu BPJS Kesehatan yang menjadi bukti bahwa Anda merupakan peserta JKN. Saat ini fasilitas kesehatan yang dimiliki pemerintah otomatis melayani JKN. Sementara fasilitas kesehatan milik swasta yang dapat melayani JKN jumlahnya terus bertambah. Hanya tinggal sekitar 30 persen saja yang belum bergabung.

9. Bagaimana dengan fasilitas kesehatan swasta?
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan kesempatan kepada swasta untuk berperan serta memenuhi ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

10. Bagaimana alur pelayanan kesehatan, katanya tidak boleh langsung ke rumah sakit?
- Untuk pertama kali setiap peserta terdaftar pada satu fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas) yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan setelah mendapat rekomendasi dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
- Dalam jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) bulan selanjutnya peserta berhak memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama yang diinginkan.
- Peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar, kecuali berada di luar wilayah fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar atau dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

Direktur Pelayanan PT Askes Fadjriadinur menambahkan, bila sudah aktif menjadi peserta, alur pelayanan menggunakan pola rujukan berjenjang yang dimulai dari sistem layanan primer hingga tersier.
Ia mengatakan, layanan primer terdiri atas Puskemas, klinik dokter pribadi serta klinik pratama (klinik swasta). Jadi nanti setiap orang mulai berobat dari sistem layanan primer dulu sehingga menghindari penumpukkan di satu rumah sakit. Khusus untuk keadaan darurat seperti kecelakaan atau penyakit yang tidak bisa ditangani di layanan primer, bisa langsung ke rumah sakit.

11. Siapa yang menjamin program JKN akan berlangsung baik tanpa korupsi?
Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal. Secara eksternal, pengawasan akan dilakukan oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) dan Lembaga pengawas independen. Dan secara internal, BPJS akan diawasi oleh dewan pengawas satuan pengawas internal.

12. Bagaimana jika terjadi kelebihan atau kekurangan iuran?
- BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran jaminan kesehatan sesuai dengan gaji atau upah peserta.
- Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan atau peserta selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya iuran.
- Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya.

13. Bila peserta tidak puas dengan pelayanan yang diberikan, kemana harus mengadu?
Bila peserta tidak puas terhadap pelayanan jaminan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, maka peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dan atau BPJS Kesehatan. Atau dapat langsung datang ke posko BPJS di kota dan desa. Ada juga hotline servis BPJS di nomor kontak 500-400.

Jumat, 04 Desember 2015

Manfaat yang diperoleh Peserta JKN

Manfaat yang diperoleh Peserta JKN

Pelayanan yang dijamin bagi peserta adalah komprehensif sesuai kebutuhan medis yang meliputi:

  • ü  Pelayanan Kesehatan Tingkat I/Dasar, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup:  Administrasi pelayanan
  • Pelayanan promotif dan preventif
  • Pemeriksaan, pengobatan & konsultasi medis
  • Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
  • Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
  • Transfusi darah sesuai kebutuhan medis
  • Pemeriksaan penunjang diagnostik lab Tk. I
  • Rawat Inap Tk. I sesuai dengan Indikasi Medis
  • ü  Pelayanan Kesehatan Tingkat II/Lanjutan, terdiri dari:
  • Rawat jalan, meliputi:
  • Administrasi pelayanan
  • Pemeriksaan, pengobatan & konsultasi spesialistik
  • Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
  • Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
  • Pelayanan alat kesehatan implant
  • Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis
  • Rehabilitasi medis
  • Pelayanan darah
  • Pelayanan kedokteran forensik
  • Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan
  • Rawat Inap yang meliputi:
  • Perawatan inap non intensif
  • Perawatan inap di ruang intensif
  • Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri
  • Adapun Pelayanan yang TIDAK dijamin meliputi:
  • Pelayanan yang tidak mengikuti PROSEDUR
  • Pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
  • Pelayanan untuk tujuan kosmetik/estetika
  • General check up, pengobatan alternatif
  • Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi
  • Pelayanan kesehatan pada saat bencana
  • Pasien bunuh diri/penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/bunur diri/narkoba

Prosedur Berobat Peserta JKN


Prosedur pelayanan pasien JKN adalah:

  • Peserta harus berobat ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) baik itu Puskesmas, Klinik Swasta, 
  • Dokter Praktek, Klinik TNI/POLRI yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dan sesuai dengan tempat peserta terdaftar. 
  • Apabila penyakit yang diderita tidak dapat diselesaikan di FKTP, maka pasien diberikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan yakni Rumah Sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
  • Peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada FKTP tempat peserta terdaftar, kecuali berada di luar wilayah FKTP tempat peserta terdaftar atau dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
  • Hanya pasien dalam kondisi Gawat Darurat yang dapat langsung dilayani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan. 

Cara dan persyaratan mendaftar menjadi peserta JKN
Calon peserta dapat mendaftarkan diri dan keluarganya melalui beberapa cara, yakni:

  • Melalui Kantor BPJS Kesehatan
  • Melalui web www.bpjs-kesehatan.go.id
  • DIP elektronik
  • Melalui pihak ketiga -> channel Bank (Bank Mandiri, Bank BNI dan Bank BRI), PT POS, dll

Adapun berbagai dokumen yang harus dipersiapkan sebelum melakukan pendaftaran adalah :

  • Kartu Tanda Penduduk (KTP)
  • Kartu Keluarga (KK)
  • Kartu NPWP
  • Foto Ukuran 3x4

Biaya yang harus dikeluarkan oleh peserta PBI JKN
Pada prinsipnya tidak ada biaya yang harus dikeluarkan oleh peserta PBI JKN sepanjang mengikuti prosedur dan obat – obatan yang diresepkan oleh dokter masuk ke dalam daftar Formularium Nasional

Apakah JKN menanggung biaya transportasi pengobatan?
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan N. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional pasal 29 dijelaskan mengenai Pelayanan Ambulan. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Pelayanan Ambulan merupakan pelayanan transportasi pasien rujukan dengan kondisi tertentu untuk menjaga kestabilan kondisi pasien dan hanya dijamin bila rujukan dilakukan pada fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS.

Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian pelayanan ambulan dapat dilihat lebih lengkap pada Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.

Pelayanan untuk peserta di wilayah yang tidak tersedia fasilitas kesehatan
Penentuan daerah tersebut ditetapkan oleh dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan.

Apabila peserta tinggal di daerah tersebut, maka BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi. Kompensasi untuk daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat diberikan dalam bentuk:

  • Penggantian uang tunai dengan mengikuti prosedur pengajuan klaim perorangan
  • Pengiriman tenaga kesehatan. Kompensasi pengiriman tenaga kesehatan bekerjasama dengan dinas kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan
  • Penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.

Apakah Pemerintah Daerah tetap diperbolehkan mengelola Jamkesda?
Masih diperbolehkan. Peningkatan kepesertaan JKN salah satunya adalah dengan pengembangan kepesertaan integrasi Jamkesda ke dalam JKN. Dalam Peta Jalan Menuju Kepesertaan Semesta (Universal Health Coverage), mulai tahun 2015 kegiatan BPJS Kesehatan akan dititikberatkan pada integrasi kepesertaan Jamkesda/PJKMU dan asuransi kesehatan komersial ke BPJS Kesehatan.

Nomor kontak untuk bertanya atau mengadukan keluhan
Segala pertanyaan dan keluhan dapat melalui kontak berikut ini :

  • Halo Kemkes di nomor telepon 500 567
  • Halo BPJS di nomor telepon 500 400
  • Informasi mengenai JKN dapat pula diketahui secara lebih lengkap di:
  • http://www.jkn.kemkes.go.id
  • http://bpjs-kesehatan.go.id


Peserta JKN



Yang menjadi peserta JKN:

Prinsip pelaksanaan program JKN, kepesertaan bersifat wajib.
Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Peserta JKN terdiri dari Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (Non PBI).

Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
 Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012) yaitu:  fakir miskin dan orang tidak mampu yang ditetapkan oleh Menteri Sosial setelah berkoordinasi dengan Menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
Data terpadu yang ditetapkan oleh Menteri Sosial dirinci menurut provinsi dan kabupaten/kota dan menjadi dasar bagi penentuan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan
Menteri Kesehatan mendaftarkan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan sebagai peserta program Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan.

Sifat data kepesertaan yang dinamis, dimana terjadi kematian, bayi baru lahir, pindah alamat, atau peserta adalah PNS, maka Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 149 tahun 2013 yang  memberikan kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk mengusulkan peserta pengganti yang jumlahnya sama dengan jumlah peserta yang diganti.

Adapun peserta yang dapat diganti adalah mereka yang sudah meninggal, merupakan PNS/TNI/POLRI, pensiunan PNS/TNI/POLRI, tidak diketahui keberadaannya, atau peserta memiliki jaminan kesehatan lainnya.

Peserta Non Penerima Bantuan Iuran (Non PBI) yaitu setiap orang yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu, yang membayar iurannya secara sendiri ataupun kolektif ke BPJS Kesehatan.

Peserta Non PBI JKN terdiri dari :

  • Peserta penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu Setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah, antara lain Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Swasta, dan Pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja penerima upah
  • Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, yaitu setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri, antara lain pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, dan lain sebagainya
  • Bukan pekerja penerima dan anggota keluarganya, setiap orang yang tidak bekerja tapi mampu membayar iuran Jaminan Kesehatan, antara lain Investor, Pemberi kerja, Penerima pensiun, Veteran, Perintis kemerdekaan, dan bukan pekerja lainnya yang memenuhi kriteria bukan pekerja penerima upah.

Bayi baru lahir dari keluarga Peserta PBI JKN
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, disebutkan pada pasal 11 ayat 1b bahwa ‘penambahan data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu untuk dicantumkan sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena memenuhi kriteria Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu’. Kemudian pada ayat 2 disebutkan bahwa ‘Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diverifikasi dan divalidasi oleh Menteri.

Penjaminan terhadap bayi baru lahir berdasarkan Surat Edaran Nomor HK/Menkes/32/I/2014:

  • Bayi baru lahir dari peserta PBI secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Bayi tersebut dicatat dan dilaporkan kepada BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan untuk kepentingan rekonsiliasi data PBI
  • Bayi anak ke-1 (satu) sampai dengan anak ke-3 (tiga) dari peserta pekerja penerima upah secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan
  • Bayi baru lahir dari:

1)     Peserta pekerja bukan penerima upah;
2)     Peserta bukan pekerja; dan
3)     Anak ke-4 (empat) atau lebih dari peserta penerima upah, dijamin hingga hari ke-7 (tujuh) sejak kelahirannya dan harus segera didaftarkan sebagai peserta.
Apabila bayi sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak didaftarkan hingga hari ke-7 (tujuh) sejak kelahirannya, mulai hari ke-8 (delapan) bayi tersebut tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Masalah Kartu Peserta Jamkesmas 2013 
Kartu peserta Jamkesmas tahun 2013 masih berlaku saat berobat ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

 Status Peserta Jamkesmas Lama yang tidak masuk ke dalam Daftar Peserta PBI JKN
Bagi peserta yang dahulu menjadi peserta Jamkesmas lama (sebelum tahun 2013) dan tidak lagi menjadi peserta PBI JKN dapat mendaftarkan diri dan keluarganya menjadi peserta JKN non PBI melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (dahulu PT Askes Persero) di kantor cabang terdekat atau secara online (http://bpjs-kesehatan.go.id/statis-17-pendaftaranpeserta.html). Apabila peserta tersebut masuk ke dalam kategori Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja, maka ada 3 (tiga) jenis iuran yang bisa dipilih disesuaikan dengan kemampuan keuangan keluarga.
Selain mendaftarkan diri sendiri dan keluarganya secara mandiri, dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 6A disebutkan bahwa ‘Penduduk yang belum termasuk sebagai Peserta Jaminan Kesehatan dapat diikutsertakan dalam program Jaminan Kesehatan pada BPJS Kesehatan oleh pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota’. Pada pasal 16 lebih lanjut dijelaskan bahwa iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dibayar oleh Pemerintah. Sedangkan iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah.


Kamis, 03 Desember 2015

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)



JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah program Pemerintah yang bertujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia untuk dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera.

Latar Belakang dan Tujuan JKN

Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. UUD 1945 mengamanatkan bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang miskin dan tidak mampu, adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pada UUD 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah menjalankan UUD 1945 tersebut dengan mengeluarkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk memberikan jaminan sosial menyeluruh bagi setiap orang dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.

Dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004, SJSN diselenggarakan dengan mekanisme Asuransi Sosial dimana setiap peserta wajib membayar iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.

Dalam SJSN, terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan bentuk komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Sebelum JKN, bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, antara lain:

  • Askes Sosial bagi pegawai negeri sipil (PNS), penerima pensiun dan veteran,
  • Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) 
  • Jamsostek bagi pegawai BUMN dan swasta, serta 
  • Jaminan Kesehatan bagi TNI dan Polri. 
  • Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPKMM) atau  Askeskin (Asuransi Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin). 

Kemudian sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2013, program ini berubah nama menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Seiring dengan dimulainya JKN per 1 Januari 2014, semua program jaminan kesehatan yang telah dilaksanakan pemerintah tersebut (Askes PNS, JPK Jamsostek, TNI, Polri, dan Jamkesmas), diintegrasikan ke dalam satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Sama halnya dengan program Jamkesmas, pemerintah bertanggungjawab untuk membayarkan iuran JKN bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Prinsip Pelaksanaan Program JKN
Sesuai dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, maka Jaminan Kesehatan Nasional dikelola dengan prinsip :

  • Gotong royong, dengan kewajiban semua peserta membayar iuran 
  • Nirlaba. tidak mencari untung. Dana masyarakat adalah dana amanat,  untuk kepentingan peserta.
  • Keterbukaan, kehati – hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. 
  • Portabilitas. jaminan selama masih di wilayah Negara Republik Indonesia tetap dapat mempergunakan hak sebagai peserta JKN
  • Kepesertaan bersifat wajib. Agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.
  • Dana Amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan penyelenggara untuk dikelola sebaik – baiknya demi kepentingan peserta.

Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar – besar kepentingan peserta.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)



Pengertian
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.

Jaminan sosial meliputi:

  1. Jaminan Kesehatan
  2. Jaminan Kecelakaan Kerja
  3. Jaminan Hari Tua
  4. Jaminan Pensiun
  5. Aminan Kematian

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. BPJS Kesehatan mulai operasional pada tanggal 1 Januari 2014.

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial.

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) adalah Dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.

JKN PRINCIPLES AND EARLY OPERATIONS


JKN is intended to address these growing disparities in health care in Indonesia. Its main objective is to create a well-integrated, sustainable, accessible, and equitable health system that provides comprehensive, high-quality care to all Indonesians.

During the years between passage of Law 40 in 2004 and the launch of the consolidated National Health Insurance Scheme on 1 January 2014, many steps were taken toward fulfillment of the national commitment to have a health care system for all Indonesians. When the law was adopted in 2004, only civil servants, the military, and the police were covered by health insurance, each in a separate program. Attention was first directed to develop new coverage for the health needs of the poor. In 2005, a new Social Health Insurance for the Poor program was launched for that purpose (called Asuransi Kesehatan untuk Yang Miskin or Askeskin). In 2008, Askeskin evolved into a broader program of health insurance (known as Jamkesmas)10 with wider coverage and incorporating lessons learned from Askeskin.

In 2010, a new program was added to reduce maternal and child mortality, providing coverage for all pregnant women (Jaminan Persalinan or Jampersal). The final years of preparation for the launch of JKN focused on designing how to consolidate the multiple programs under one national administrative, management, and service system while at the same time identifying and moving to ”fill gaps” in coverage (improving equity) and raising the quality of services. This period included the development of a “road map” for continuing expansion of the system from its launch in 2014 to the achievement of UHC by 2019.

The development of JKN was based on five core principles:

  1. The spirit and practice of gotong royong, meaning mutual support.
  2. Mandatory membership for all Indonesians by 2019.
  3. “Portability” of the right to service: members of JKN are entitled to service anywhere in Indonesia.
  4. Principles and best practice of social health insurance to guide the management of JKN.
  5. Medical service is equal for all JKN members; however, members paying all or a portion of their own membership can choose to pay for a higher level of in-patient service.


An early challenge in the implementation of JNK was integrating into one system the separate insurance programs that had covered the poor and near poor (PBId), civil servants, the military, the police, pensioners, and some staff of state enterprises (BUMNe). Except for PBI, these insurance programs all involved financial contributions by both the employer and the employee. Under JKN all of these systems became part of the unified National Social Health Insurance Scheme with a single management system as well as a single system of rights and benefits for members. On 1 January 2014, membership in JKN was opened to others, defined as independent members, who would pay their own premiums. Some provincial and district governments also chose to enroll the near poor from their local programs in JKN, thereby bringing the total number of poor and near-poor subsidized by government to 93.9 million by 31 August 2014.f

Under JKN, the Ministry of Health is responsible for setting clinical guidelines and technical norms. On the other hand, health care delivery depends on a mix of public and private providers. The financial affairs of JKN are run by an independent management agency for the health wing of the Social Security System, called BPJS Health. This agency manages the new health insurance system, including recruitment of members, payment to service providers, and collection of fees.
Another major goal of JKN, which was important to policy makers, was improving the quality of care. In order to move forward on this objective, and based on the principle that what could be measured would be well managed, we did a full assessment of our system's quality of care both from the providers’ technical perspective as well as from the patients’ satisfaction standpoint. We then sought to strengthen our medical education system, to assure the availability of qualified staff at primary health centers (PHCs) and hospitals through the rotation and field assignments of doctors and specialists and to encourage service by qualified doctors in the most challenging island, border, and isolated posts through the introduction of incentives (financial and educational opportunities).

Key Challenges of Building JKN
The Ministry of Health established six working groups to address key challenges in implementing the JKN:

  • Regulatory infrastructure for both service delivery and management
  • Finance, transformation, and integration of programs and institutions (from former programs)
  • Health facilities, referral, and infrastructure
  • Human resources and capacity building
  • Pharmaceutical and medical devices
  • Socialization and advocacy

Indonesia launches universal healthcare



Indonesia has taken a significant step in its efforts to roll out universal healthcare, but funding will remain tight. Indonesia launched its universal health care programme, known locally as Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Its laudable goal is to provide health insurance to the country's estimated 250m people in five years, or by January 2019. But faced with the immense challenge of implementing such a scheme in the world’s fourth most populous country, the government is phasing the introduction carefully.

In the first stage of the programme’s implementation this year, the JKN will cover 121.6m Indonesians. This amounts to around half of the population already, but is less of an achievement than it looks. The figure includes 86.4m people already enrolled in the Jamkesmas, the fully state-funded health insurance for Indonesians categorised as poor and near-poor, or those living on less than Rp233,000 (US$24) a month. Another 11m of the tally are those already qualified for the Jamkesda programme, a scheme run by local governments. In addition, there are 16m civil servants and their families already covered by PT Askes, 7m covered by Jamsostek, the health insurance for private sector workers, and 1.2m members of Asabri, the social insurance for the military and their dependants.

The JKN's achievement, therefore, is to integrate the various state-owned health insurance schemes into a single payer, quasi-government organisation, dubbed BPJS-Health, which will administer the JKN. Its head, Fahmi Idris, confirmed in late December 2013 the government has transferred of assets and insurance plans of the five health insurance bodies to BPJS and that BPJS-Health has prepared the online infrastructure for JKN, which involves consolidating the programme’s database of members. Under a similar scheme for other benefits, another super administrator, BPJS-Employment, will provide pension, occupational injury benefits, provident funds and death benefits by 2015 at the latest.

The government has also worked out how to finance the JKN. The government will shoulder the premiums of the 86.4m erstwhile Jamkesmas members and has allocated Rp19.3trn (US$1.6bn) for this purpose in the 2014 budget. Those earning wages from formal employment, either state- or private-sector, will pay a premium equivalent to 5% of their salary (4% payable by employers and 1% by employees). All other members, including informal workers, the self-employed and investors, will pay monthly premiums of between Rp 25,500 and Rp59,500 each.

The JKN covers comprehensive benefits, from infectious diseases such as influenza to expensive medical intervention such as open-heart surgery, dialysis and cancer therapies. The members of the former Jamkesmas, whose premiums are paid for entirely by the government, are entitled to third-class room and board at either state or private hospitals. Those who pay higher premiums are entitled to first-class and second-class room and board. Yet many critics doubt whether the budget will really stretch as far as this coverage implies. While the government's allocation of Rp19.3trn for Jamesmas is more than double 2013's Rp8.29trn, it still amounts to just Rp19,225 per person (US$1.57) per month. The premium payments of wage-earners and non-salaried members are also likely to be inadequate.

Narrow opportunities

Keen to avoid the system becoming insolvent, the Health Ministry has set low reimbursements levels for hospitals. Although a large number of hospitals (1,720 out of Indonesia's total of 2,300) have signed up for JKN, the low reimbursements are eventually likely to dampen the interest of private clinics and hospitals, leading to overcrowding in state facilities. They will also limit the quality of health care and force those who can afford to do so to seek higher-quality care elsewhere, most likely from private insurance providers.

So far, the role of private insurers in Indonesia's ground-breaking reforms is unclear. The government has not provided transitional arrangements for employers that have obtained private health insurance for their workers, leaving them to pay double. But private insurers are expected to benefit from a general shift towards insurance coverage in a market where 75% of private health spending was out of pocket in 2010, according to the World Health Organisation. This will be particularly true if Indonesia's economy grows robustly, boosting the growth of the middle class.

For pharmaceutical companies and medical devices providers, the implementation of the JKN appears to bring plenty of opportunities. However, the most likely beneficiaries are local pharmaceutical companies producing generic drugs, which already have a 70% share of the local drug by volume. According to Health Minister Nafsiah Mboi, in order to lower costs, doctors participating in the JKN will have to adhere to a government formulary, which consists of 92% generics and 2.5% innovator drugs. The rest is accounted for by dental materials and diagnostics.

The implementation of JKN will also leave the current regulatory restrictions on foreign pharmaceutical companies unchanged. Market barriers to growth remain, including a cumbersome approval process for medicines and a long-standing requirement for foreign drug companies to have a manufacturing facility in Indonesia before they can distribute their products. Like private insurance companies, therefore, most foreign pharma and medical device companies will have to rely on Indonesia's growing economy – rather than its healthcare reforms – for any market opportunities.

Minggu, 29 November 2015

Becoming an Epidemiologists

Epidemiologists are detectives who research the causes and consequences of illness and disease. Their research informs public health policies and disease management strategies around the world. By discerning how and why disease and illness occur, epidemiologists help prevent their spread and recurrence. Epidemiologists study the relationship between medical conditions and their causes by collecting and analyzing data about public health and the behavior of disease. In addition to studying the origin and spread of contagious life-threatening diseases, they also analyze medical conditions that occur as a result of exposure, such as foodborne illnesses. Epidemiologists can work within a variety of specialties that include social, environmental, genetic, psychological and other diverse areas of study.

For an epidemiologist, research into questions of great societal significance is all in a day’s work. While not often in the public eye, epidemiologists receive immense personal satisfaction from solving the medical mysteries that plague us all. More than half of epidemiologists work for government agencies at the local, state and federal levels. These professionals also work for private research facilities, pharmaceutical companies, hospitals and universities. Epidemiologists usually work in clean, well-lit offices and laboratories during regular business hours. Fieldwork or public health emergencies may occasionally require work on nights, weekends or holidays. In most cases, the work is considered low risk, although some epidemiologists may work directly with dangerous chemicals or pathogens.

Education
Most positions as an epidemiologist require at least a master’s degree from an accredited institution in the area of public health, ideally with an emphasis in epidemiology. This course of study will include coursework in biostatistics, behavioral studies, health services research and administration, immunology, toxicology and more. 
Clinical or research epidemiology positions almost always require a medical degree or PhD.
 
Training
Training occurs on the job and the duration depends upon the position and the epidemiologist’s previous experience.

Licensing and/or Certification
Epidemiologists can advance their careers with continuing education and certification programs offered through the Association for Professionals in Infection Control and Epidemiology.
The Certification Board of Infection Control and Epidemiology, Inc. (CBIC) provides voluntary certification for professionals who work within the infection control industry.

Necessary Skills 
Epidemiologists must be excellent listeners, as fact-finding interviews are an important part of their research. They must be critical thinkers, who can analyze their findings, as well as recognize emergency situations when they arise. An epidemiologist must be mathematically astute and proficient with statistical analysis and data presentation software programs. Finally, good writing skills help epidemiologists convey their conclusions and recommendations to the medical industry and the general public.

Opportunities for Advancement
Obtaining an advanced degree (MD or PhD) enables epidemiologists to work in larger facilities or to take on jobs with greater responsibility and a higher level of pay. A medical degree in particular will qualify an epidemiologist to administer drugs during research studies and clinical trials; these positions tend to be the highest paying and thus competition for them is keen. Specialization, fieldwork and years of experience qualify epidemiologists to manage others with lesser qualifications or fewer years of experience.
 


Master of Public Health (MPH)

Master of Public Health (MPH)

The Department of Epidemiology co-sponsors two areas of concentration in the school-wide master of public health degree program for public health professionals interested in developing quantitative and analytical skills in epidemiology. 

In conjunction with the Department of Biostatistics, the Department of Epidemiology supports the MPH Concentration in Epidemiological & Biostatistics Methods for Public Health and Clinical Research. This is intended for public health professionals interested in developing quantitative and analytical skills in epidemiology and biostatistics.  

The course of study is designed for students with quantitative backgrounds who are seeking to gain additional skills in epidemiologic study design and statistical data analysis. The goal of this concentration is to prepare students to participate in the design, conduct and analysis of research studies in public health and to translate epidemiologic concepts into practice. This concentration is best suited for students who have already worked in a particular substantive area and have identified specific research questions. Students are required to complete a four-term sequence in both epidemiology and biostatistics. 

Several other courses are recommended depending on the student's interests and research needs in specific areas, such as meta-analysis, health survey methods, clinical trials, study design and grant proposal development, survival analysis, data management, and other special topics.
Students are required to complete a four-term sequence in both epidemiology and biostatistics. Several other courses are recommended depending on the student's interests and research needs in specific areas, such as meta-analysis, health survey methods, clinical trials, study design and grant proposal development, survival analysis, data management, and other special topics.
In conjunction with the Departments of International Health and Molecular Microbiology and Immunology, the Department of Epidemiology support the MPH Concentration in Infectious Diseases

This concentration provides students with competencies in multiple disciplines including epidemiology, immunology, microbiology, parasitology and vector-borne diseases to address critical problems in the control and prevention of infectious diseases. 
Students who complete the concentration will gain special expertise in the pathogenesis, epidemiology and control of infectious diseases appropriate for careers within state health departments, federal agencies conducting research in the pathogenesis, epidemiology and control of infectious diseases or the pharmaceutical industry. Students will be exposed to the fundamental concepts underlying the epidemiology and control of a number of infectious diseases affecting global health. Students take courses in each of the following five areas:  Epidemiology, Microbiology, Parasitology and Tropical Diseases, Prevention and Control of Infectious Diseases, and Immunology.


Epidemiologists job titles

Epidemiologists job titles:
  • Clinical Epidemiologist
  • Field Epidemiologist
  • Nurse Epidemiologist
  • Public Health Epidemiologist
  • Environmental Epidemiologist
  • Nurse Epidemiologist
  • Infection Control Practitioner
  • Epidemiology Investigator
  • Research Epidemiologist
  • Chronic Disease Epidemiologist
  • Environmental Epidemiologist
 
Epidemiologists Education, Certification and License Requirements
An epidemiologist career begins with a Master of Epidemiology degree, or a related degree, from an accredited university. Some epidemiologists obtain a Ph.D. in Epidemiology, and others have a professional background and obtain a dual degree in epidemiology.
Epidemiologist programs cover subjects such as:
  • Public health
  • Biology
  • Biostatistics
  • Epidemiology research methodology
  • Clinical trial design
  • Society and health
  • Medical geography
  • Occupational epidemiology
Epidemiologists don’t need a license. The Certification Board of Infection Control and Epidemiology provides certification which offers epidemiologists a way to demonstrate mastery and dedication to the field. Certification must be renewed every five years.


Field epidemiologists


Field epidemiologists are scientists who study the spread of infectious diseases with the goals of containing the current outbreak and preventing future recurrences. Because public health departments often employ them, applied epidemiologists frequently interact with the public to monitor and collect disease-related data, assist with programs designed to control or prevent disease and advise on public health policies. This career requires at least a master's degree in public health. Additional training and fellowship opportunities are offered by the CDC.

Job Duties
Investigating diseases involves the collection and analysis of health data through field research, observation, questionnaires and studies. Applied epidemiologists use a variety of statistical software to analyze the information and report their findings, which can take the form of meetings or presentations to the public or policy makers. Epidemiological work also involves educating and training the community and healthcare workers to prevent the transmission of infectious diseases.
During disease outbreaks, epidemiologists apply their knowledge of how and why communicable diseases spread to make recommendations on containment and treatment. They also monitor the situation, report to local and state health agencies and evaluate data collected during the outbreak.
Field epidemiologists are often required to travel outside of their community to study disease outbreaks, which can also include out-of-state or overseas travel, a career in field epidemiology requires at least a master's degree in public health (www.bls.gov). According to epidemiologist job postings on Monster.com in August 2011, employers also accept a master's degree in epidemiology or a closely related field and expect some experience in community health.
Training and fellowship opportunities are available to help prospective applied epidemiologists and other public health professionals gain field experience. The CDC is an agency that works to prevent disease and protect public health; the CDC offers four applied epidemiology programs for epidemiology students and graduates (www.cdc.gov). These programs include:


  • The Epidemiology Elective Program for senior medical and veterinary students involves a 6-8 week public health investigation at assigned locations across the country.
  • The CDC Experience Applied Epidemiology Fellowship is a 1-year hands-on training program for students in the third or fourth year of medical school. Fellows are mentored by experienced epidemiologists at CDC headquarters in Atlanta, GA.
  • The Epidemic Intelligence Service is a salaried 2-year post-graduate training program in epidemiology and public health.
  • The CDC/CSTE Applied Epidemiology Fellowship program is a collaboration of the CDC and the Council of State and Territorial Epidemiologists (CSTE). This 2-year post-graduate training program pairs candidates with public health mentors for on-the-job training and job placement.
  •  

A public health epidemiologist

A public health epidemiologist specializes in the investigation of disease and many other public health issues, to stop them from spreading or from recurringThey then report their findings to the government and to the public.
Epidemiologists frequently work for the government and for universities, as well as research institutions. They often collect and analyze data to do in depth research of health issues. Most frequently, epidemiologists focus on infectious diseases, but they can focus on other areas as well.
Sometimes epidemiologists will work in private companies, including health insurance companies and pharmaceutical companies.

According to a survey in 2009 by the Council of State and Territorial Epidemiologists, local government epidemiologists work most often in these areas:
  • Infectious diseases
  • Bioterrorism
  • Maternal and child health
  • Chronic diseases
  • Environmental health
  • Injury
  • Occupational health
  • Substance abuse
  • Oral health
An epidemiologist has to have a master’s degree in epidemiology, or a master’s degree in public health (MPH) with a focus on epidemiology. Some top epidemiologists may have a Ph.D. in the field.
Some of the most common coursework in this field at the master’s level includes:
  • Public health
  • Biology
  • Biostatistics
  • Statistical methods
  • Causal analysis
  • Survey design
  • Regression
  • Medical informatics
  • Biomedical research
Epidemiologist Job Description
  • Plan/direct detailed studies of public health issues to discover ways to prevent them and to treat the issues.
  • Perform the collection and analysis of data, by using observations, interviews, surveys and blood samples – to discover what is causing certain diseases.
  • Communicate study  findings to policymakers, practitioners and the general public
  • Provide management of health programs by doing program planning, monitoring program progress and doing data analysis.
Epidemiologist Skills and Qualifications
  • Communications skills
  • Critical thinking
  • Detail oriented
  • Math and statistics
  • Speaking
  • Writing


Typical work activities of an epidemiologist


Epidemiologist:
Epidemiologists study the patterns, causes and effects of diseases in groups of people. They can either work in a research setting or as clinical epidemiologists.
Those working in research focus on the patterns and causes of diseases by using statistics and model building. They are interested in whether something occurs and also how it occurs.
Epidemiologists study samples of the population that include healthy and unhealthy individuals. They do not normally collect data directly from affected groups, but analyse data that is given to them. Their work informs public health policies and global strategies in order to prevent future outbreaks and epidemics of a disease.
Clinical epidemiologists, by contrast, study the disease in individual patients and focus on how the disease has developed; the clinical specialism is best suited to medically-qualified candidates.
Veterinary epidemiologists study diseases in groups of animals.

Typical work activities
The work of an epidemiologist can vary depending on the area they specialise in but tasks generally include:
  • developing and implementing methods and systems for acquiring, compiling, synthesizing, extracting and reporting information;
  • designing statistical analysis plans, performing and guiding analysis;
  • performing and providing critical analysis and thinking, advice and recommendations on issues based on accepted scientific understanding of infectious and emerging diseases in a global context;
  • working with specialist statistical computer software when analysing data;
  • providing statistical insight in the interpretation and discussion of study results;
  • contributing to study reports, either by writing the report or managing others to do so;
  • communicating analysis results through presentations and publications;
  • using qualitative and quantitative methods when conducting research, planning, and programming information for use in developing health policy;
  • networking with cross-sector specialists with global colleagues to identify where their expertise and experience can benefit or enhance their approach;
  • collaborating with government agencies and other global health partners to assist in the development of positions and recommendations on key policy issues;
  • supporting international health diplomacy strategies and activities, such as the planning, coordination, and hosting of international conferences and workshops related to diseases;
  • assisting in formulation of progress reports and related documents to assess programme progress;
  • maintaining focus and delivery against commercial objectives especially if working in the private sector.


Epidemiologist Activities







Importance
Activities
  
Analyzing Data or Information - Identifying the underlying principles, reasons, or facts of information by breaking down information or data into separate parts.
  
Getting Information - Observing, receiving, and otherwise obtaining information from all relevant sources.
  
Interpreting the Meaning of Information for Others - Translating or explaining what information means and how it can be used.
  
Interacting With Computers - Using computers and computer systems (including hardware and software) to program, write software, set up functions, enter data, or process information.
  
Processing Information - Compiling, coding, categorizing, calculating, tabulating, auditing, or verifying information or data.
  
Identifying Objects, Actions, and Events - Identifying information by categorizing, estimating, recognizing differences or similarities, and detecting changes in circumstances or events.
  
Updating and Using Relevant Knowledge - Keeping up-to-date technically and applying new knowledge to your job.
  
Communicating with Supervisors, Peers, or Subordinates - Providing information to supervisors, co-workers, and subordinates by telephone, in written form, e-mail, or in person.
  
Making Decisions and Solving Problems - Analyzing information and evaluating results to choose the best solution and solve problems.
  
Communicating with Persons Outside Organization - Communicating with people outside the organization, representing the organization to customers, the public, government, and other external sources. This information can be exchanged in person, in writing, or by telephone or e-mail.
  
Establishing and Maintaining Interpersonal Relationships - Developing constructive and cooperative working relationships with others, and maintaining them over time.
  
Documenting/Recording Information - Entering, transcribing, recording, storing, or maintaining information in written or electronic/magnetic form.
  
Organizing, Planning, and Prioritizing Work - Developing specific goals and plans to prioritize, organize, and accomplish your work.
  
Developing Objectives and Strategies - Establishing long-range objectives and specifying the strategies and actions to achieve them.
  
Thinking Creatively - Developing, designing, or creating new applications, ideas, relationships, systems, or products, including artistic contributions.
  
Monitor Processes, Materials, or Surroundings - Monitoring and reviewing information from materials, events, or the environment, to detect or assess problems.
  
Estimating the Quantifiable Characteristics of Products, Events, or Information - Estimating sizes, distances, and quantities; or determining time, costs, resources, or materials needed to perform a work activity.
  
Developing and Building Teams - Encouraging and building mutual trust, respect, and cooperation among team members.
  
Provide Consultation and Advice to Others - Providing guidance and expert advice to management or other groups on technical, systems-, or process-related topics.
  
Training and Teaching Others - Identifying the educational needs of others, developing formal educational or training programs or classes, and teaching or instructing others.
  
Coordinating the Work and Activities of Others - Getting members of a group to work together to accomplish tasks.
  
Coaching and Developing Others - Identifying the developmental needs of others and coaching, mentoring, or otherwise helping others to improve their knowledge or skills.
  
Evaluating Information to Determine Compliance with Standards - Using relevant information and individual judgment to determine whether events or processes comply with laws, regulations, or standards.
  
Scheduling Work and Activities - Scheduling events, programs, and activities, as well as the work of others.
  
Judging the Qualities of Things, Services, or People - Assessing the value, importance, or quality of things or people.
  
Performing for or Working Directly with the Public - Performing for people or dealing directly with the public. This includes serving customers in restaurants and stores, and receiving clients or guests.
  
Guiding, Directing, and Motivating Subordinates - Providing guidance and direction to subordinates, including setting performance standards and monitoring performance.
  
Monitoring and Controlling Resources - Monitoring and controlling resources and overseeing the spending of money.
  
Performing Administrative Activities - Performing day-to-day administrative tasks such as maintaining information files and processing paperwork.
  
Staffing Organizational Units - Recruiting, interviewing, selecting, hiring, and promoting employees in an organization.
  
Resolving Conflicts and Negotiating with Others - Handling complaints, settling disputes, and resolving grievances and conflicts, or otherwise negotiating with others.
  
Selling or Influencing Others - Convincing others to buy merchandise/goods or to otherwise change their minds or actions.